Hukum Asal Seorang Muslim
Pembaca budiman,
Rubrik Soal-Jawab edisi ini, kami angkat dari beberapa pertanyaan yang disampaikan kepada Syaikh Ibrahim ‘Amir ar Ruhaili –hafizhahullah- saat menyampaikan muhadharah di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 27 Jumadil Akhir 1427H, bertepatan dengan 23 Juli 2006M. Pertanyaanpertanyaan ini perlu kami sampaikan, mengingat relevansinya dengan persoalan yang kini sedang marak di tengah-tengah kita. Semoga bermanfaat. (Redaksi)
Jawab : (Sebelum memberikan jawaban, terlebih dahulu Syaikh Ibrahim ‘Amir ar Ruhaili –hafizhahullah- melontarkan pertanyaan dan memastikan arah pertanyaan. Dan beliau sempat membuat hadirin tersenyum, dengan lontaran pertanyaan beliau yang sudah diketahui jawabannya, Red.).
Hukum asal seorang muslim adalah salamah (selamat aqidahnya). Jika dikatakan “Muslim”, maka asalnya adalah selamat. Ini berbeda dengan kalimat “manusia”, karena manusia ada yang kafir, dan ada pula yang muslim. Namun jika disebut muslim, maka hukum asalnya adalah selamat. Oleh karena itu para ulama –di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah- menyebutkan bolehnya berma’mum kepada setiap muslim dalam shalat. Dan mengetahui keshahihan aqidah seorang imam, bukan menjadi syarat sah berma’mum padanya. Karena hukum asal seorang mu’min adalah berada di atas aqidah yang benar. Kecuali (jika) di suatu daerah yang banyak tersebar perbuatan bid’ah, atau terlihat indikasi adanya perbuatan bid’ah pada diri seseorang, maka orang ini dapat diketahui dari indikasi-indikasi ini.
Adapun berkaitan dengan keabsahan shalat, maka sesungguhnya shalat berjama’ah di belakang setiap muslim adalah sah, meskipun orang tersebut mubtadi’ (pelaku perbuatan bid’ah). Shalat dibelakang orang ini sah, sebagaimana berma’mum di belakang orang fasiq juga sah. Namun jika perbuatan bid’ahnya sudah sampai pada batas kekufuran, maka orang seperti ini tidak boleh dijadikan imam dalam shalat.
Jadi hukum asal seorang mu’min adalah salamah (selamat aqidahnya). Maksudnya, selamat dalam masalah din (agama) dan aqidahnya. Sedangkan dalam menuntut ilmu, maka seseorang harus mengetahui siapakah orang ‘alim itu, sehingga bisa belajar darinya. Berdasarkan firman Allah سبحانه وتعالى :
فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ
(Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui –QS an Nahl/16 ayat 43), maka tidak semua mu’min itu ulama’. Oleh karena itu, kita harus mengenal ulama’.
Dan harus diperhatikan, ketika kita mengatakan hukum asal seorang mu’min adalah salamah, ini bukan berarti tidak ada kebid’ahan pada diri seorang mu’min. Banyak kaum Mu’minin yang terjangkiti perbuatan bid’ah, namun kita sedang membicarakan tentang kondisi orang yang belum diketahui. Jadi, hukum asal seorang mu’min adalah berada di atas Sunnah dan Islam. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya banyak kaum Mu’minin melakukan perbuatan bid’ah. Maka, selama tidak terlihat adanya indikasi penyelewengan dan perbuatan bid’ah, kita tidak boleh meragukan keislaman seseorang, karena hukum asalnya, mereka berada di atas din (agama) Islam, dan Islam berlepas diri dari semua perbuatan bid’ah.
Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M
Artikel asli: https://majalahassunnah.net/soal-jawab/hukum-asal-seorang-muslim/